Tsinghua Lutfiya
Oleh: Dahlan Iskan
Lutfiya mendapat sub-jurusan ''pemimpin masa depan'': future leader. Ada 12 orang di kelas itu. "Rasanya saya yang paling muda. Yang lain banyak yang sudah menjadi politisi atau pejabat pemerintah," ujar Lutfiya.
Untuk bisa dapat beasiswa itu Lutfiya menjalani banyak tahapan. Dia jalani semua itu. Lamaran pertamanyi pun seperti itu. Sibuk. Ribet. Ujungnya: ditolak. Begitu terus. Sampai 12 kali.
Yang ke-13 pun dia jalani. Wawancara, membuat esai dan tes tertulis. Juga, diskusi kelompok sesama pelamar. Dan yang njelimet adalah melengkapi banyak dokumen, pemeriksaan identitas dan akhirnya putusan: diterima.
Dalam wawancara itu dia ceritakan bahwa Lutfiya lulusan Madrasah Aliyah Negeri II Mataram. Berjilbab. Lalu kuliah UMM. Ayahnyi pegawai perusahaan penyeberangan milik BUMN (ASDP). Dan dia sedang bekerja sukarela sebagai staf khusus wakil gubernur NTB: Sitti Rohmi Djalilah.
Sebenarnya Lutfiya tidak ingin balik ke Lombok. Begitu lulus UMM Lutfiya ke Jakarta. Dia dapat pekerjaan yang cocok dengan pendidikannyi. Gajinyi lumayan tinggi pula, untuk ukuran Lutfiya: Rp 7 juta/bulan. Itu di lembaga internasional bidang ASEAN.
Di lembaga itu Lutfiya sering ditugaskan ke daerah miskin dan bencana. Termasuk ke Lombok. Dia merasa banyak tahu tentang kemiskinan dan penyebabnya. Jiwa kejuangannyi terbentuk oleh pengalaman hidupnyi seperti itu.
Suatu hari Lutfiya ikut seminar di Jakarta. Pembicaranya orang dari daerahnyi: Tuan Guru Bajang. Yakni Gubernur NTB dua periode yang dianggap sukses.
Di seminar itu Lutfiya tampil sangat kritis. Dia mengemukakan angka-angka kemiskinan Lombok yang berbeda. Begitu kritisnya sampai dia dianggap mengemukakan data yang kurang tepat. Dia sampai di-huuuuu ramai-ramai.