Turkiye...! Dan Politik Identitas Eropa

Turkiye...! Dan Politik Identitas Eropa
Andi A Mallarangeng
Turkiye...Turkiye...! Pekik kemenangan pendukung-pendukung Turki di jalan-jalan kota Wina, Austria, berlanjut sepanjang malam. Hari itu memang hari yang luar biasa, Turki baru saja menang melawan Kroasia di perempat final Euro 2008. Bukan cuma kemenangan itu, tapi juga bagaimana kemenangan itu diraih.

Bayangkan, dua menit sebelum peluit panjang berbunyi di babak ke dua perpanjangan waktu, Turki kebobolan oleh Kroasia. Pelatih Kroasia Slaven Bilic dan pemain-pemainnya sudah merayakan kemenangan yang ada di depan mata. Tiba-tiba, di menit terakhir, sebuah tendangan jarak jauh membuat Turki menyamakan kedudukan.

Apa yang terjadi sesudah itu telah menjadi sejarah. Mental pemain Kroasia jatuh. Lutut mereka goyah, bahkan ‘meleleh.’ Dalam adu penalti, dua tendangan Kroasia melenceng, satu diblok kiper Turki Rustu,  dan hanya satu tendangan Kroasia yang berhasil. Sebaliknya, semua tendangan Turki menggetarkan gawang Kroasia. Skor 3-1 untuk Turki.

Sebelumnya lagi, dalam pertandingan yang menentukan di Grup A, Turki juga menghancurkan harapan Ceko, yang dianggap kuda hitam di Euro 2008 ini, dengan skor 3-2.  Juga dengan gol kemenangan di menit-menit terakhir, walaupun Ceko lebih dahulu unggul 2-0. Di Grup A, Turki juga mengalahkan Swiss dengan 1-0, tanpa balas.

Malang melintangnya Turki dalam Euro 2008 ini punya implikasi yang jauh lebih luas dari sekedar kemenangan dalam suatu kejuaraan sepakbola akbar. Tapi ini juga menyangkut sejarah dan politik identitas Eropa dalam konteks Uni Eropa. Dalam konteks sepakbola, Turki adalah bagian dari Eropa, makanya kesebelasan Turki bisa berlaga dalam Euro 2008 ini. Tapi dalam konteks masyarakat Uni Eropa, sampai sekarang permohonan Turki menjadi anggotanya masih teratung-katung.

Sebagian negara-negara Uni Eropa menolak keanggotaan Turki karena alasan identitas keeropaan, latar belakang kultural, atau sejarah. Bagi mereka, Turki bukanlah bagian dari masyarakat Eropa, dan lebih cocok dimasukkan sebagai negara Asia Tengah, atau bahkan Timur Tengah. Memang, kalau melihat peta dunia, sebagian wilayah Turki berada di benua Asia. Tetapi sebagian lagi melintasi selat Bosphorus, dan berada di benua Eropa.

Sebagian argumen penolakan Turki juga karena latar belakang kultural terutama agama. Cukup banyak masyarakat Eropa yang memaknai identitas masyarakat Eropa sebagai masyarakat Judeo-Kristiani. Turki yang Muslim menjadi tidak sejalan dengan konsepsi identitas seperti itu. Munculnya pemerintahan dan partai politik konservatif di sejumlah negara Eropa membuat isu anti imigran, seringkali dibarengi dengan isu anti-Muslim, mencuat sebagai salah satu isu pokok dalam politik Eropa. Warga Turki yang banyak menjadi pendatang di banyak negara Eropa tentu terkena imbasnya secara langsung.

Yang tidak kalah pentingnya adalah faktor sejarah. Sejarah Perang Salib antara Dunia Kristiani dan Dunia Islam adalah sejarah yang masih punya efek sampai sekarang di  sebagian masyarakat Eropa. Kerajaan Turki Ottoman mewakili kekuatan Dunia Islam yang menggempur sampai di pintu kota Wina beberapa abad yg lalu. Bahkan daerah Balkan, termasuk yang sekarang menjadi bagian Kroasia pernah di bawah kekuasaan Turki. Bosnia yang Muslim adalah sisa-sisa pengaruh Turki di daerah Balkan. Dan itu pulalah yang membuat mereka menjadi target keganasan Serbia.

Turkiye...Turkiye...! Pekik kemenangan pendukung-pendukung Turki di jalan-jalan kota Wina, Austria, berlanjut sepanjang malam. Hari itu memang hari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA TERKAIT