Ujian Lira untuk Menantu-Mertua
Oleh Dahlan Iskan
Bunga yang didapat penabung habis dimakan inflasi. Akibatnya: para penabung menarik uang mereka. Dari bank. Dibelikan dolar. Atau dikirim ke luar negeri: capital flight.
Terjadilah lingkaran setan. Harus dipotong. Dengan senjata tega. Kenaikan suku bunga adalah pisaunya. Tapi Erdogan menolak usulan itu. ”Bunga adalah ibu segala setan,” ujar Erdogan.
Memang bunga di Turki sudah sangat tinggi: 17 persen. Kalau usul kenaikan itu diterima menjadi 24 persen.
Dengan bunga 24 persen sektor riil akan kelimpungan. Ini mengingatkan saya ke kesulitan ekonomi Indonesia tahun 1988. Saat diberlakukan tight money policy.
Saat itu bunga juga sampai 24 persen. Bahkan saya pernah lebih berat: cari pinjaman bank dengan bunga 29 persen.
Saat itu saya lagi cari modal: mendirikan Riau Pos. Bersama sastrawan Riau, Rida K Liamsi. Tanpa modal setor dari Jawa Pos. Saya cari pinjaman ke BII Batam. Dengan jaminan pribadi.
Waktu itu saya masih sangat muda. Bekerja keras sekali. Agar bisa membayar hutang dengan bunga seperti rentenir. Tapi masa sulit seperti itu bisa saya lalui.
Erdogan tidak mau menyiksa negerinya dengan bunga tinggi. Erdogan berprinsip bunga rendah akan mendorong sektor riil. Defisit anggaran akan bisa menggerakkan ekonomi.