Ukraina, Krisis Terbesar Eropa di Abad XXI
jpnn.com - KIEV - Krisis Ukraina yang melahirkan ketegangan di Semenanjung Crimea menuai reaksi keras negara-negara Eropa. Hal itu terjadi karena Kremlin semakin kuat menancapkan cengkeraman militernya di wilayah Ukraina yang sebagian besar penduduknya berasal dari Rusia tersebut. Inggris pun melayangkan protes serius.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague berkunjung ke Kota Kiev kemarin. Dalam wawancara dengan stasiun radio BBC, politikus berusia 52 tahun tersebut menyatakan bahwa konflik politik yang membelit Ukraina selama sekitar tiga bulan terakhir itu merupakan krisis terburuk Eropa. ''Sulit untuk mengukur semua ini. Tapi, ini jelas krisis terbesar Eropa sepanjang abad ke-21 ini,'' paparnya.
Untuk menyelesaikan krisis di Ukraina itu, menurut dia, masyarakat Eropa harus mengerahkan energi diplomatik yang besar. Kemarin dia mengimbau Kremlin untuk menarik seluruh kekuatan militernya dari Crimea. Sebab, masyarakat Eropa ingin menyelesaikan krisis tersebut secara damai. Jika Moskow tidak mengindahkan peringatan itu, pemerintahan Presiden Vladimir Putin harus menanggung konsekuensi.
Negara-negara Eropa anggota G-8, lanjut dia, bakal membuat Moskow menanggung dampak campur tangan atas krisis Ukraina. Caranya, negara-negara tersebut akan memboikot pertemuan tingkat tinggi G-8 yang bakal berlangsung di Kota Sochi pekan ini. ''Akan ada dampak diplomatik yang bahkan sudah kami persiapkan sejak sekarang,'' ungkapnya.
Selain Inggris dan negara-negara Eropa anggota G-8, Hague mengungkapkan bahwa negara-negara anggota G-8 lain siap mengambil langkah diplomatik serupa terhadap Rusia. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Jepang dan Kanada.
''Dunia tidak akan membiarkan semua ini berlangsung lama. Tidak ada satu negara pun yang mengizinkan suatu bangsa melanggar kedaulatan bangsa lain,'' tuturnya.
Seolah tidak terpengaruh dengan kecaman Inggris dan beberapa negara Eropa lain itu, Rusia tetap menegaskan dukungannya terhadap Viktor Yanukovych. Politikus pro-Kremlin yang tergusur dari kursi presiden pada 23 Februari tersebut kembali mengumumkan bahwa dirinya masih menjadi presiden sah Ukraina. Kemarin Perdana Menteri (PM) Rusia Dmitry Medvedev juga memaklumatkan pernyataan yang sama.
''Yanukovych memang tidak lagi punya kuasa. Tapi, secara konstitusi, dia masih tetap menjadi kepala negara Ukraina yang sah,'' terangnya.
Medvedev juga menerangkan bahwa Kremlin tidak mengakui kekuatan pemerintahan baru Ukraina yang kini dipimpin PM Arseniy Yatsenyuk. Menurut pemimpin berusia 48 tahun itu, oposisi Ukraina telah melanggar konstitusi yang berlaku di negara merek sendiri.
Hingga kemarin, Yanukovych masih menghuni Sanatorium Barvikha yang terletak di pinggiran ibu kota Rusia. Pekan lalu Kremlin mengabulkan permohonan lawan politik Yulia Tymoshenko tersebut untuk mendapat jaminan keamanan dan keselamatan selama berada di Rusia. Moskow yakin bahwa Yanukovych hanya menjadi korban rekayasa politik Ukraina. Karena itu, Kremlin akan terus memberikan dukungan kepada presiden yang terguling.
Pasukan Rusia yang menginvasi Crimea semakin melebarkan kekuatannya di semenanjung yang berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa tersebut. (AP/AFP/hep/c18/tia)
KIEV - Krisis Ukraina yang melahirkan ketegangan di Semenanjung Crimea menuai reaksi keras negara-negara Eropa. Hal itu terjadi karena Kremlin
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Kemlu RI Berharap PM Israel Benjamin Netanyahu Segera Ditangkap
- Operasi Patkor Kastima 2024 Dimulai, Bea Cukai-JKDM Siap Jaga Kondusifitas Selat Malaka
- Hari Martabat dan Kebebasan, Simbol Ketahanan dan Harapan Rakyat Ukraina
- Gaza Menderita, Otoritas Palestina Tolak Rencana Israel Terkait Penyaluran Bantuan
- Indonesia Merapat ke BRICS, Dubes Kamala Tegaskan Sikap Amerika
- Ngebet Usir Imigran, Donald Trump Bakal Kerahkan Personel Militer