Untung Siksa

Dahlan Iskan

Untung Siksa
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kami menyusuri lorong skafolding itu. Lalu masuk pintu besarnya. Bebas. Hanya ada detektor barang bawaan. Relatif sepi. Hanya dua orang di depan saya dan dua di belakang: Lia dan Erick, anaknyi. James Sundah, suami Lia tidak ikut.

Lia tahu: ruang sidang Trump di lantai 15. Ada dua deretan lift di gedung itu; di kanan sana dan di kiri sana. Sama saja. Tidak ada petugas jaga. Sepi. Pun di lantai 15.

Lia juga tahu di ruang mana Trump selalu disidangkan: ruang 59. Langsung ke ruang itu. Dorong pintu besar. Pintu kayu. Ada pintu besar lagi di dua meter setelah pintu pertama. Pintu hands itu untuk antisipasi musim dingin.

Ruang sidang senyap. Ada sidang tetapi senyap. Sidang kriminal lain. Belum mulai.

Ruang sidang ini seperti ruang kebaktian di gereja Katolik. Langit-langitnya tinggi. Tempat duduk pengunjungnya bangku panjang. Berderet ke belakang. Delapan deret. Kanan dan kiri. Koridor di tengah. Tiap bangku berisi 7 orang. Ada penyekat rendah di bangku itu agar mereka tidak duduk berhimpitan.

Deretan bangku paling depan untuk jaksa dan timnya menunggu sidang dimulai. Di bangku kanan. Yang kiri depan untuk bangku tunggu pengacara.

Kami duduk di bangku nomor 3 dari belakang. Hanya bisa berbisik pelan.

Sambil menunggu, saya membaca komentar para perusuh. Posisi HP saya agak tinggi. Terlihat oleh petugas keamanan yang duduk jauh di depan sana. Dia memberi isyarat tangan.

Maka hari pertama di New York, saya ke pengadilan. Mumpung hari itu tidak ada sidangnya Presiden Donald Trump.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News