Utang Emas

Oleh: Dahlan Iskan

Utang Emas
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kami tahu melalui narasi yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia. Di kereta yang membawa kami ada tombol pilihan bahasa apa yang mau kami dengar.

Sekeluarnya dari lorong gelap itu, kami diperlihatkan bagaimana cara perajin emas bekerja. Dari balik kaca. Saya mengamati betapa sulitnya perhiasan itu dibentuk, pun sekadar sebuah cincin yang sederhana.

Jadi memaklumi mengapa dalam transaksi pembelian emas ada yang diperhitungkan sebagai ongkos.

Setelah melihat pandai emas itu bekerja, kami diarahkan ke suatu tempat. Area itu luas, terang benderang dengan cahaya lampu.

Kilauan emas dan permata terpancar dari dalam etalase kaca. Itulah toko emas terbesar yang pernah saya lihat.

Seorang pramuniaga pria, menggunakan bahasa Indonesia menyambut kami dengan ramah dan menggiring saya ke salah satu etalase.

Saya tertarik pada sebuah liontin permata. Saya teringat ibu. Harga perhiasan itu tidak terlalu mahal, masih terjangkau. Apalagi, sebagai pemenang grand prize saya juga mendapatkan uang saku.

Kebetulan harga perhiasan itu setara dengan uang saku yang saya dapatkan. Tanpa pikir panjang, saya membelinya. Hebat benar, ya, pramuniaga ini, bisa menebak isi kantong, eh, dompet saya.. ha ha.

SAMPAI kemarin, soal utang emas 1,1 ton belum juga ada perkembangan baru. Saya mencoba kembali menjadi reporter: belum berhasil. Namun, ada penolong.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News