Utang RI, Sehat Tapi Boros
Senin, 16 Agustus 2010 – 03:30 WIB
Artinya, porsi pembiayaan anggaran yang berasal dari pajak masih rendah. Karena itu, potensi penerimaan pajak harus bisa dioptimalkan, sehingga negara tidak terlalu bergantung pada utang.
Kritik lain, kata Dradjad, terkait dengan alokasi penerimaan negara dari sektor pajak yang sekitar seperempatnya digunakan untuk membayar utang, termasuk untuk sebagian Surat Utang Negara (SUN) dan komitmen utang yang sebenarnya pemborosan.
Data Ditjen Pengelolaan Utang menunjukkan, biaya bunga yang harus dibayar oleh pemerintah kepada pemberi utang memang terus naik. Jika pada 2007 nilainya Rp 79,08 triliun, maka pada 2008 naik menjadi Rp 88,34 triliun, dan naik lagi pada 2009 menjadi Rp 93,80 triliun. Pada 2010, biaya bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 115,59 triliun.
Yang patut disayangkan, ternyata, tidak semua utang pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri dicairkan. Artinya, pemerintah sudah terlanjur berutang, namun karena belanja anggaran seret, maka utang tersebut tidak jadi dicairkan, namun tetap saja pemerintah harus membayar fee maupun bunga utangnya. Pada 2009 dan 2010, nilai pinjaman luar negeri yang tidak dicairkan pemerintah mencapai USD 10,8 miliar atau sekitar Rp 90 triliun.
JAKARTA - Menjelang pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kebijakan pembiayaan defisit melalui utang selalu menjadi isu hangat.
BERITA TERKAIT
- Industri Properti Bergerak Dinamis, LPKR Memperluas Penawaran Produk Baru Harga Terjangkau
- Pemkot Tangsel jadi Daerah Paling Tertib Ukur versi Kemendag RI
- Dorong Laju Investasi di Ngawi, Bea Cukai Menerbitkan Izin Fasilitas Kawasan Berikat
- RI Sulit Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Kalau Mengandalkan Kapasitas Fiskal
- Harga Emas Antam Hari Ini Rabu 20 November Naik Lagi, Berikut Daftarnya
- PPN Jadi 12 Persen Tahun Depan, Begini Imbasnya ke Masyarakat