UU Cipta Kerja Diteken Jokowi, Yusril Singgung Soal Salah Ketik
Para akademisi menilai Cipta Kerja terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan kepada peraturan pemerintah maupun kepada peraturan presiden.
Banyaknya pendelegasian pengaturan menimbulkan kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya kekuasaan presiden. Hal tersebut potensial menabrak asas-asas demokrasi.
"Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan cita-cita reformasi 22 tahun yang lalu," ucapnya.
Yusril juga mengatakan, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum ditandatangani Presiden Jokowi.
Presiden sendiri dalam statemennya 9 Otober lalu, mempersilakan elemen-elemen masyarakat yang tidak puas dan menolak UU Cipta Kerja, mengujinya di MK.
"Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke MK, baik uji formil maupun materil memang pantas didukung, agar MK secara objektif memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan undang-undang, termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang, atau tidak," katanya.
Yusril meyakini MK akan menggunakan norma-norma dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15/2019 untuk memberikan penilaian.
"Sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah proses pembentukan undang-undang yang isinya mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung," ucapnya.
Yusril menyinggung soal salah ketik UU Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Jokowi.
- Terpidana Pemerkosa 48 Pria Reynhard Sinaga Dipukuli di Inggris, Begini Sikap Pemerintah
- PBB Bersiap Gelar Muktamar ke-VI di Bali untuk Memilih Ketum yang Baru
- Terobosan Hukum Bagi Pengguna Narkoba di KUHP yang Baru, Tak Lagi Dipidana
- Sejumlah Menterinya Prabowo Ini Disorot Warganet, Ada yang Bikin Blunder, duh
- Agus Andrianto Minta Arahan Yusril dalam Memimpin Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
- Yusril Sebut Kasus 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat