Vaksin Covid-19 Berbayar Dikritik Irwan Fecho, Pakai Istilah Penjajahan
jpnn.com, JAKARTA - Politikus Partai Demokrat (PD) DPR RI Irwan angkat bicara menanggapi kebijakan pemerintah memperdagangkan vaksin Covid-19 untuk rakyat melalui perusahaan BUMN, yakni PT Biro Farma.
"Pemerintah jangan memeras keringat rakyat dengan alasan gotong royong. Gotong royong itu mulia, tetapi dagang vaksin dengan alasan gotong royong itu menipu rakyat di tengah derita pandemi," ucap Irwan di Jakarta, Minggu (11/7).
Wakil sekretaris Fraksi PD itu menyatakan vaksinasi untuk rakyat merupakan tugas negara di tengah pandemi Covid-19.
Jika vaksin berlebih dan stoknya memang tersedia, kata Irwan, kenapa negara tidak membeli dan mengadakannya untuk rakyat di tengah proses distribusi vaksinasi yang terbatas dan masih rendah persentasenya.
Legislator yang beken disapa dengan panggilan Irwan Fecho itu mengingatkan bahwa negara sudah diberikan kekuasaan yang luas dan juga uang yang banyak melalui UU Nomor 2 Tahun 2020.
Oleh karena itu, Irwan menilai tidak seharusnya negara jualan vaksin kepada rakyatnya. Apalagi, itu dilakukan melalui perusahaan pelat merah.
"BUMN itu badan usaha milik negara yang artinya juga milik rakyat. Ini penjajahan pada rakyat sendiri di tengah derita pandemi. Harus dihentikan," pungkas politikus asal Kalimantan Timur itu.
Sebelumnya Kementerian Kesehatan menetapkan harga vaksin dosis lengkap Sinopharm berbayar untuk individu sebesar Rp 879.140 per orang.
Irwan Fecho meminta kebijakan vaksin berbayar segera dihentikan karena vaksinasi Covid-19 untuk rakyat tanggung jawab negara.
- Usut Tuntas Kasus Penembakan Polisi di Solok Selatan: Menunggu Implementasi Revolusi Mental Polri
- DPR Dukung Penuh Menko Polkam Lindungi Pelajar dari Judi Online
- Cucun Hadiri Kolaborasi Medsos DPR RI dengan Masyarakat Digital di Lembang
- SHP Pemprov Bali Belum Dicoret dari Daftar Aset, Wayan Sudirta DPR Minta Penjabat Gubernur Taati Hukum
- Melly Goeslaw: Revisi UU Hak Cipta Solusi Hadapi Kemajuan Platform Digital
- Komisi III DPR Menghadapi Dilema dalam Memilih Pimpinan dan Dewas KPK, Apa Itu?