Vaksin Gotong Royong Dimulai, Epidemiolog: Orang Sehat dan Tidak Bergejala Tidak Ada di Prioritas

Vaksin Gotong Royong Dimulai, Epidemiolog: Orang Sehat dan Tidak Bergejala Tidak Ada di Prioritas
Vaksinator menyuntikan vaksin COVID-19 saat saat vaksinasi COVID-19. (Supplied: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/hp.)

Harga pembelian vaksin tersebut sudah termasuk keuntungan 20 persen dan biaya distribusi kabupaten atau kota, namun tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sementara, tarif pelayanan vaksinasi gotong royong sudah termasuk margin 15 persen namun belum termasuk Pajak Penghasilan (PPh).

"Kami tidak berpikir komersialisasi vaksin. Tapi realita yang harus kami hadapi memang vaksin [Gotong Royong] harus dibeli, bukan vaksin secara gratis," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir di Jakarta, Rabu (19/05).

"Jangan dilihat seakan-akan pemerintah hadir mencari margin. Pemerintah keluarkan Rp 77 triliun untuk adakan vaksin gratis. Saya rasa ini [anggaran] terbesar di dunia," ujar Erick.

Namun Dr Pandu Riono tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

"Enggak mungkin enggak ada komersialisasi, [karena] ada harga, ada biaya, ada margin profit, ada PPN macam-macam, itu kan cari duit untuk menghidupkan BUMN kesehatan," ucapnya.

Stany mengatakan untuk setiap karyawannya ia membayar Rp500 ribu per dosis vaksin, sudah termasuk ongkos pelayanan dan pajak.

Ia mengaku tahu soal kelompok prioritas seperti lansia yang seharusnya mendapat giliran lebih dulu, tapi menurutnya di luar kelompok prioritas, banyak kelompok lain yang bukan prioritas yang juga sudah menerima vaksinasi saat ini.

Menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia dari sejumlah pengamat kesehatan yang mengatakan program vaksinasi gotong royong seharusnya tidak bersifat ekslusif hanya untuk warga yang mampu membelinya

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News