Vivo 1000
Oleh: Dahlan Iskan
Memang hanya ekonom Kwik Kian Gie yang tervokal menolak kenaikan harga BBM. Ia tidak bisa mengerti alasan pemerintah yang didengungkan selama ini: subsidi yang besar. Yang kalau ditotal mencapai Rp 502 triliun.
Ekonom Anthony Budiawan juga tidak kalah vokal. Akan tetapi saya menganggap Anthony itu Kwik Kian Gie juga. Satu lembaga kajian di Jakarta. Satu almamater di Rotterdam, Belanda.
Pak Kwik menelepon saya. Ia tidak habis pikir bagaimana di negara Pancasila perhitungan ekonominya ikut kapitalis. "Bagaimana ya, cara meyakinkan para ekonom itu?" tanya dia.
Anthony punya cara sendiri. Ia terus menulis. Memperjuangkan pemikirannya itu. Tiap hari. Bahkan bisa sehari dua kali. Ia sebarkan tulisan pendek itu ke media. Juga lewat medsos pribadinya.
Rasanya, di negeri ini, hanya dua orang itu yang pemikiran ekonominya berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Rakyat punya pemikiran sendiri. Mereka kelompok yang tidak banyak berdaya. Mereka memilih cari cara sendiri. Agar bisa lebih hemat BBM.
Misalnya, ada pertanyaan seperti ini. Di medsos. Yang menjawab pun ribuan. Pertanda mereka satu nasib. "Mana yang lebih hemat, membeli BBM berdasar nilai uang, atau berdasar jumlah liter".
Maksudnya, ketika Anda membawa sepeda motor ke pompa bensin, pilih mengatakan "membeli bensin Rp 20.000" atau "membeli bensin 2 liter?". Bukankah itu sama saja?