Vonis Atas Panda jadi Bukti KPK Hanya Kejar Citra
Karena Majelis Hakim Tipikor Kompak soal Keterlibatan Panda
Kamis, 23 Juni 2011 – 06:26 WIB
Tapi karena akhirnya Panda tetap diputus bersalah, Eva pun mencurigai bahwa kasus tersebut tak lebih sebagai upaya KPK untuk menggenjot pencitraan. "Pantas kita curiga bahwa ini proyek pencitraan. Sebagai kompensasi atas mandegnya kasus-kasus besar dan serius lainnya," ucapnya.
Baca Juga:
Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai Eka Budi Prijanta, pada persidangan yang digelar kemarin (22/6) menyatakan bahwa Panda Nababan terbukti bersalah karena menerima suap pemilihan DGS BI Juni 2004 yang dimenangi Miranda Gultom. Karenanya, majelis menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara 17 bulan plus denda Rp 50 juta. Hukuman serupa juga dijatuhkan kepada tiga terdakwa lainnya.
Namun majelis yang terdiri dari empat hakim anggota dan satu hakim ketua itu tidak bulat dalam menjatuhkan putusan atas Panda. Sebab, dua hakim anggota yaitu Made Hendra dan Andi Bachtiar menyampaikan dissenting opinion khusus tentang posisi Panda dalam kasus tersebut.
Menurut dua hakim ad hoc itu, tidak ada bukti kuat tentang waktu dan tempat bahwa Panda menerima TC BII dari Dudhie Makmun Murod usai pemilihan DGS BI, Juni 2004 yang dimenangi Miranda Gultom. "Tidak ada alat bukti yang menunjukkan keterlibatan terdakwa satu (Panda Nababan). Tidak ada fakta hukum terkait travellers cheque BII," ujar Made Hendra.
JAKARTA - Dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua hakim majelis pengadilan Tipikor yang memvonis Panda Nabanan, dinilai sebagai bukti bahwa
BERITA TERKAIT
- Bagja Tak Setuju Bawaslu Jadi Lembaga Ad Hoc, Begini Alasannya
- Muzani Bantah Gerindra Serang PDIP Terkait Pandangan Kritis Soal PPN Naik Jadi 12 Persen
- Gerindra Bantah Menyerang PDIP Soal Kenaikan PPN jadi 12 Persen
- Jubir PSI: PDIP Pengusul PPN 12%, Sekarang Mau Jadi Pahlawan Kesiangan
- Hanif Dhakiri: Jangan Memanfaatkan PPN 12% jadi Alat Menyerang Presiden Prabowo
- Syahganda Sebut Pernyataan Dolfie Soal PPN Dapat Picu Instabilitas Politik