Vonis Dahlan Iskan dan Negeri yang Gagal Berterima Kasih
Oleh IMAM SHAMSI ALI*
jpnn.com - Beberapa hari lalu saya mendapat pesan singkat lewat WhatsApp bahwa Pak Dahlan divonis bersalah dengan hukuman penjara dua tahun di Pengadilan Tipikor Surabaya. Kota di mana beliau membangun bisnis besarnya sekaligus kota yang dalam beberapa saat ini sudah menjadi penjaranya sendiri (tahanan kota).
Mendengar berita itu, saya bagai tertimpa sesuatu yang begitu berat. Di tengah kesibukan saya sendiri di Kota New York, saya tiba-tiba menjadi lesu, malas, seolah kehilangan semangat sekaligus merasakan kekecewaan, bahkan kemarahan.
Ada apa dengan negeri ini? Dari hari ke hari, fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara semakin diinjak serta dimainkan. Akan ke mana sebuah negara di saat hukum telah dijadikan barang mainan atau objek transaksi kepentingan kekuasaan?
Saya ingin marah, ingin berteriak, ingin melampiaskan kemarahan itu kepada kezaliman yang merajalela. Kezaliman yang seolah menjadi sesuatu yang alami dalam dunia kekuasaan. Tapi, saya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Hanya kata hati dan nurani yang menggerakkan sehingga saya bangkit untuk salat malam, hanya dua rakaat. Khusus untuk mendoakan Pak Dahlan Iskan semoga dikuatkan, dimudahkan, serta diberi jalan keluar dan hasil yang terbaik dari Allah. Al Fatihah!
Di pengujung doa itu, saya kembali diingatkan ketika bertemu dengan beliau beberapa kali. Sebuah memori kehidupan yang menyentuh saya secara pribadi. Pak Dahlan telah menjadi guru yang hebat untuk saya. Guru kehidupan yang mengajarkan apa dan bagaimana hidup.
Tentu nama Dahlan Iskan telah lama saya kenal. Saya kenal sebagai pengusaha sukses dan kaya. Awalnya, saya mengira beliau pasti memiliki gaya hidup mewah. Sebagaimana lazimnya orang-orang kaya Indonesia, rata-rata tampil beda dan (maaf) agak sok. Walau terkadang kekayaannya biasa-biasa saja. Belum sekaya Bill Gates, Warren Buffet, atau Mr Carlos dari Meksiko, bahkan minimal Donald Trump.
Saya banyak mendengar di kemudian hari di pemerintahan. Memegang BUMN, menjadi menteri, bahkan pernah maju mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat melalui konvensi partai. Beliau memenangkan itu, walaupun akhirnya bersama Anies Baswedan (sekarang gubernur DKI terpilih) hanya dijadikan pelengkap konvensi.
Saya kemudian banyak membaca tentang beliau. Dari latar belakang keluarga, kehidupan masa kecil, hingga proses membangun perusahaan raksasa itu. Tapi, saya masih tetap terbawa dengan bayangan seorang pebisnis sukses. Pasti beda. Gaya hidup yang mentereng, glamor, dan sudah pasti pergaulan yang cenderung memilih serta berlagak bos.