Wacana Menghidupkan PPHN Lewat Konvensi MPR Mendapat Penolakan Sejumlah Tokoh

Wacana Menghidupkan PPHN Lewat Konvensi MPR Mendapat Penolakan Sejumlah Tokoh
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena. Foto: Humas Fraksi Partai Golkar MPR Ri

“Saya juga orang yang tidak setuju karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi,” ujar Bivitri.

Menurut Bivitri Susanti, konvensi ketatanegaraan itu adalah praktik ketatanegaraan yang berulang-ulang dan sudah diterima sebagai praktik. Konvensi ketatanegaraan tidak bisa mengubah konstitusi ataupun UU. 

Tanpa Konsekuensi

Direktur PSHK Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Anang Zubaidy menilai tidak tepat upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.

“Kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan? Menurut saya, tidak tepat karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pasca-amendemen UUD 1945,” ujar Anang.

Menurutnya, konvensi ketatanegaraan sebenarnya hukum tidak tertulis. Dikatakan konvensi ketatanegaraan ketika ada perbuatan hukum yang berulang-ulang, dilakukan terus-menerus, dan seolah-olah menjadi keharusan untuk dilakukan.

Namun, praktik tersebut tidak mempunyai landasan hukum tertulis misalnya upacara ataupun pidato presiden pada sidang MPR.

Oleh karena itu, PPHN tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.

Bivitri Susanti mengungkapkan upaya menghidupkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) melalui konvensi ketatanegaraan tidak bisa diterima secara keilmuan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News