Wahabisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Wahabisme
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Gus Dur mengibaratkan Islam itu seperti benih yang bisa dibawa ke mana-mana, tetapi agar benih itu bisa tumbuh di suatu tempat, maka benih itu harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu.

Kalau Islam datang di dataran Melayu, maka dia harus bisa membuat akulturasi dengan situasi kehidupan yang ada di Melayu.

Begitu juga ketika Islam datang ke kawasan Eropa, maka dia juga harus bisa melakukan akulturasi dengan konteks Eropa.

Kalau Islam datang ke kawasan India, dia harus bisa melakukan penyesuaian dengan konteks India, begitu seterusnya.

Gagasan pribumisasi menjadi salah satu epistemologi banyak diikuti di Indonesia sekaligus menjadi gagasan yang kontroversial.

Para pemikir Islam kaliber internasional seperti Syekh Yusuf Alqardawi dan Prof. Naquib Alatas tidak sepakat dengan konsep pribumisasi dan menegaskan sifat universalisme Islam yang melampaui batas waktu dan geografis, ‘’Shalihun likulli zaman wa makan’’, Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat.

Konsep pribumisasi Islam berbanding terbalik. Ada ajaran-ajaran yang sifatnya historis sesuai dengan konteks lokal dan ada ajaran yang sifatnya universal.

Yang bersifat historis itulah yang harus disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya setempat.

Beda dengan HTI dan FPI yang bentuk organisasinya jelas, wahabisme bukan organisasi melainkan sebuah ide dan gerakan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News