Wak Ong, Jalan Panjang di Kesunyian

Melawan untuk Kebenaran

Wak Ong, Jalan Panjang di Kesunyian
Wak Ong. Foto: Dok. Hujan Tarigan.

Binjai adalah sebuah kota perniagaan. Siapapun akan datang dan singgah di tempat itu. Kota yang hari jadinya diperingati setelah meletusnya perang Sunggal pada 17 Mei 1872 kini dipenuhi beragam etnis.

Bisnis produk dan jasa telah menjadikan Kota Binjai sebagai Shanghai-nya Indonesia.

Tak kaget, Kota Binjai sampai hari ini pun masih menjadi magnet bagi para jago-jago.

Di Kota inilah Wak Ong lahir dan besar. Lingkungan kontras membantunya memahami hidup. Di rumah, Wak Ong diajarkan mengaji. Di pasar, Wak Ong belajar menguasai bandar. 

Kekerasan bukan barang asing bagi Wak Ong. Sejak remaja, dia sudah akrab dengan adat istiadat yang berlaku di jalanan. Bergelut adalah hobinya. Hobi kebanyakan remaja-remaja kota perdagangan.

Hobinya itulah yang mengantarkannya kepada gelar yang kini dialamatkan padanya. "Itu nama dari seorang tokeh cina. Dulu Wak Ong ini bandal sekali. Berantam aja kerjanya. Dia digelari Ong. Sama cina-cina di sini," ujar Mak Etek.

Sungguhpun seorang crossboy, Wak Ong muda sudah membenci narkoba.

"Jaman ganja, Wak Ong tak mau ikut-ikut pakai. Jaman putaw, jaman sabu, tak pernah. Wak Ong bilang, kalau pun dia harus mati, dia mau mati dalam keadaan bersih tanpa narkoba," kata Mak Etek sambil tertawa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News