Warga Difabel Indonesia Gunakan Teknologi Digital untuk Bertahan di Tengah Pandemi

Agustina Lengkong harus berhenti sekolah saat ia duduk di kelas satu SMP, setelah sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah mati rasa sehingga dia tidak bisa lagi berjalan.
"Sekolah saya dua kilometer jauhnya dari rumah, jadi karena tidak bisa berjalan saya akhirnya berhenti sekolah," kata Agustina.
Ia tinggal di Desa Benteng Kado, Kecamatan Kapala Pitu di Toraja Utara, sekitar 322 kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar.
"Saya sudah 23 tahun mengalami paraplegia, dan saya sudah mulai membuka usaha berjualan di rumah sejak 11 tahun lalu," kata Agustina kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Dalam menjalankan bisnis toko kelontongnya, Agustina menggunakan teknologi digital banking, dan karena pengetahuannya di bidang ini pula ia dipercaya menjadi agen layanan digital salah satu bank nasional.
"Awalnya saya pake hape jadul untuk jual pulsa, sekarang saya melayani pembayaran listrik, bayar BPJS, transfer uang. Pelanggan saya bahkan ada yang di Papua dan di tempat lain yang meminta bantuan saya setelah kenal."
Kini hanya berbekal telepon genggam saja, ia bisa menjalankan bisnis tanpa harus pergi ke mana-mana.
Ia menambahkan, meski sempat terjadi penurunan transaksi selama pandemi COVID-19, hal itu tidak berlangsung terlalu lama sehingga ia tidak terlalu terdampak secara ekonomi.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2019, jumlah difabel di Indonesia adalah 21,5 juta orang atau sekitar 8 persen dari populasi Indonesia
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia
- Dunia Hari Ini: Katy Perry Ikut Misi Luar Angkasa yang Semua Awaknya Perempuan
- Dunia Hari Ini: Demi Bunuh Trump, Remaja di Amerika Habisi Kedua Orang Tuanya