Warga Difabel Indonesia Gunakan Teknologi Digital untuk Bertahan di Tengah Pandemi

Warga Difabel Indonesia Gunakan Teknologi Digital untuk Bertahan di Tengah Pandemi
Agustina Lengkong dengan warung di rumahnya menjual kebutuhan sehari-hari di Toraja. (Supplied)

"Tapi saya senang sekarang bisa pergi ke Yogya kadang seminggu tiga kali membawa pesanan bagi mereka yang mau membeli karak."

Menguatnya jaringan kelompok difabel di Indonesia

Di Makassar, Sulawesi Selatan, nama Dr Ishak Salim dikenal sebagai pegiat difabel yang memiliki organisasi bernama  Pergerakan difabel Indonesia untuk kesetaraan (PerDik).

Doktor ilmu politik lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini bukan difabel, namun sudah lama tertarik dan bergiat dalam bidang pergerakan untuk membantu kelompok difabel.

Menurut Ishak Salim, dalam survei pertama ketika pandemi terjadi di tahun 2020 yang dilakukan jaringan difabel, ditemukan bahwa 86 persen difabel yang bekerja di sektor informal mengalami dampak pandemi.

"Adanya pembatasan sosial membuat pendapatan harian mereka kalau dikalkulasi dalam rupiah berkurang Rp50 ribu sampai Rp100 ribu sehari," tutur Ishak.

"Mereka ini bekerja sebagai tukang parkir, melakukan usaha pijat, berjualan kue, usaha menjahit yang terhenti karena tidak adanya pesta."

Namun, diakui olehnya, para difabel yang sudah memiliki akses digital, seperti Agustina, bisa bertahan selama pandemi, walau jumlah tersebut masih rendah.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2019, jumlah difabel di Indonesia adalah 21,5 juta orang atau sekitar 8 persen dari populasi Indonesia.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2019, jumlah difabel di Indonesia adalah 21,5 juta orang atau sekitar 8 persen dari populasi Indonesia

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News