Warga Indonesia Berusaha Mematahkan Stigma Perkawinan Campur dengan Terbuka Membicarakannya

Warga Indonesia Berusaha Mematahkan Stigma Perkawinan Campur dengan Terbuka Membicarakannya
Muntini Cooper (kedua dari kiri) harus menghadapi stigma setelah menikah dengan pria Kaukasia. (Supplied)

"Sementara laki-laki asing, terutama yang berkulit putih, dianggap sebagai simbol kuasa yang memberikan keuntungan politik dan ekonomi."

Yulida melihat podcast tersebut sebagai inisiatif yang baik untuk menambah informasi seluk-beluk perkawinan campur.

"Banyak informasi yang dibahas dengan cara yang mudah dicerna dan dipahami oleh banyak pendengar, termasuk advokasi mengenai hak atas kewarganegaraan ganda bagi keluarga dari perkawinan campur," katanya.

Ia mengatakan pembahasan mengenai perkawinan campur lebih banyak menyoroti kawin campur antara individu dengan pergaulan kelas menengah, meski dalam kenyataannya pasangan dari kelas menengah ke bawah juga ada di masyarakat.

"Sebagai contoh, banyak pekerja migran Indonesia yang menikah atau berkeluarga dengan sesama pekerja migran dari negara lain," katanya.

"Anak-anak yang lahir dari perkawinan campur dari kelompok ini lebih banyak yang tidak memiliki akte kelahiran, mendapatkan akses bantuan-bantuan sosial ... dan [harus berhadapan dengan] proses dan syarat imigrasi yang kerap tidak ramah pada individu dari kelas menengah ke bawah."

Aspek lain yang menurutnya perlu diperhatikan adalah gender dan ras, di mana percakapan tentang perkawinan campur juga harus melibatkan laki-laki Indonesia dan mereka yang menikah dengan ras lain, yang dianggap "tidak kelihatan."

Lebih dari sekadar stigma

Tapi bukan hanya stigma yang dialami masyarakat perkawinan campur di Indonesia.

Pasangan beda negara masih terus mengalami stigma di Indonesia, yang terkadang berupa komentar atau pertanyaan menyakitkan

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News