Warga Tak Punya KTP, Kumpul Kebo pun Biasa
Senin, 01 Maret 2010 – 03:43 WIB
Selama berada di kampung itu, Ricardo-lah yang memandu Jawa Pos. Sebelum diajak keliling, Jawa Pos diajak mampir ke rumah Ricardo. Jika dibandingkan dengan sekitarnya, rumah Ricardo termasuk yang paling mentereng. Dindingnya terbuat dari batako yang direkatkan dengan semen. Ini kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya yang kebanyakan semipermanen. Ada yang berdinding kardus. Ada pula yang berdinding tripleks.
Sehari-hari, Ricardo mengelola sekolah informal untuk anak-anak warga di situ. Sekolah itu menjadi satu dengan rumahnya.
"Beginilah pendidikan di sini. Anak-anak warga sini yang masih kecil atau tak mampu sekolahnya ya di sini," ujarnya sambil menunjuk beberapa buku pelajaran membaca dan menulis di dua rak yang ada di ruang depan. Sekolah tersebut, kata Ricardo, adalah pendidikan anak usia dini (PAUD). Muridnya berumur di bawah empat tahun. Di sana juga ditampung anak-anak yang berhenti dari sekolahnya karena tidak mampu membayar SPP.
"Kampung di sini memang aneh. Di sini tak ada RT, RW, dan seterusnya. Akibatnya, kami juga tak punya KTP, tak punya kartu keluarga, dan hampir semua anak di sini tak punya akte kelahiran," jelas pria asal Medan itu. Dia menceritakan, identitas kependudukan di Kampung Beting ditarik pemerintah setempat pada 1990.
Kampung Beting di Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, beberapa kali diliput media massa. Sebabnya, kawasan itu menjadi lahan subur bagi aktivitas penjualan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408