Warisan UNESCO
Oleh: Dahlan Iskan
Gamping itu jadi sumber penghidupan rakyat setempat. Mereka menggerus gunung itu. Debu putihnya terbang ke mana-mana. Termasuk ke rambut dan ke badan mereka yang telanjang dada.
Mereka pun seperti Hanoman yang tidak sakti. Gamping itu dipikul. Diangkut. Dijual. Hampir tanpa harga.
Gamping tidak mengubah taraf hidup masyarakat. Gamping hanya melestarikan kemiskinan. Sugiri menghayati semua itu.
Ia menemukan cara baru untuk memanfaatkan gunung gamping itu ke level kehidupan masyarakat yang lebih tinggi.
Gunung gamping itu akan dibentuk bentuk menjadi berbagai fungsi. Salah satunya menjadi patung reog Ponorogo. Yang terbesar dan tertinggi.
Garuda Wisnu pun seperti itu. Gunung di Nusa Dua itu dibelah-belah. Jadi tebing-tebing tinggi yang masif. ''Ruang'' di antara tebing itu bisa untuk apa saja. Termasuk untuk jamuan makan malam yang mewah dan elegan.
Seperti yang Anda masih akan selalu ingat: para kepala pemerintahan negara-negara kaya anggota G-20 dijamu makan malam oleh Presiden Jokowi di situ.
Dulu gunung gersang di Nusa Dua itu juga tidak ada harganya. Kreativitas manusia bisa mengubahnya jadi salah satu pusat kegiatan G-20 yang prestisius.