Warisan UNESCO

Oleh: Dahlan Iskan

Warisan UNESCO
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Pun di Arizona. Apalagi di Nevada. Kekuatan manusia bisa mengubah padang tandus Nevada jadi Las Vegas yang Anda puja sampai sekarang.

Di Tiongkok juga. Di Dubai pun serupa. Puncaknya: di Arab Saudi. Dengan proyek kota baru Neom-nya.

Maka saya memuji pemikiran Sugiri. Saya memang orang Magetan. Atau orang Samarinda. Tetapi sejak kecil saya sudah akrab dengan budaya Ponorogo. Hampir setiap kali ada kawinan di desa sekitar saya, ada reog Ponorogo. Lengkap dengan jaranannya dan kuda tejinya.

Saya kurang kritis ketika kecil: tidak pernah bertanya apa itu kuda teji dan mengapa disebut kuda teji. Ketika remaja saya sibuk dengan organisasi pergerakan. Ketika dewasa sibuk dengan bisnis.

Baru sekarang, ketika menulis Disway ini, saya ingat masa kecil itu. Lalu ingat kuda teji. Yakni kuda yang ikut mengiringi pengantin. Bagian dari atraksi perkawinan. Jalannya kuda itu sangat lucu: seperti lari-lari kecil yang sangat centil.

Pun ketika bertemu Bupati Ponorogo saat ini, Sugiri, saya lupa menanyakannya: apa itu kuda teji dan apakah sekarang masih ada. Atau kuda teji itu justru hanya ada di daerah saya saja.

Lain kali saya tidak akan lupa menanyakan itu kepada beliau kalau bertemu beliau lagi. Atau tetap lupa.

Tentu saya sering ke Ponorogo. Adiknya bapak saya tinggal di Desa Betri, kecamatan Siman. Beliau jadi kiai kampung di Betri. Masjidnya lebih besar dari masjid di kampung saya. Tiap Lebaran, di hari ketiga, saya diajak ke sana: naik kereta api dari Stasiun Sleko di Madiun. Dari desa saya ke Sleko jalan kaki. Satu setengah jam.

Sugiri Sancoko uring-uringan: mengapa Reog Ponorogo belum juga berhasil diusulkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Mungkin tunggu diusulkan Malaysia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News