Weekend
Oleh Dahlan Iskan
Saya sudah ke museum banyak presiden Amerika. Makam Bung Karno ini tidak kalah. Hanya saja terlalu banyak spanduk dan banner di sini. Kesannya semrawut. Apalagi di banner-banner itu ada foto tokoh. Kesannya bisa mengurangi fokus ke Bung Karno. Di zaman digital ini spanduk dan banner ternyata masih penting.
Setelah tahlil di makam Bung Karno, kami mampir ke Istana Gebang. Tempat tinggal Bung Karno di masa kecilnya. Saya sering ke situ. Dahulu. Ketika saya masih berstatus reporter. Waktu itu belum disebut istana. Hanya disebut rumah Bu Wardoyo.
Rumah ini juga sudah berubah. Sebelah rumah Istana ini sudah dibebaskan. Menjadi tempat parkir yang lapang.
Saya tidak sempat masuk Istana Gebang. Tidak cukup waktu. Janji ketemu seorang pengusaha cengkeh dan durian sudah mepet. Saya pun ke arah timur Blitar. Ke rumah pengusaha itu.
Lalu mampir lagi ke rumah pengusaha muda yang lagi bangkit dari kesulitan besar. Umurnya baru 29 tahun. Pengalaman terpuruknya sudah begitu dalam. Lalu bisa bangkit: memproduksi pasir kucing. Yakni pasir buatan, yang cocok untuk tempat kucing: agar air kencing kucing piaraan tidak berceceran. Menyatu dengan pasir. Saya pun meninjau pabriknya.
Tidak terlalu lama di situ. Saya sudah ditunggu di suatu desa lebih ke timur lagi: Desa Cokelat. Saya harus ceritakan desa ini -entah kapan.
Saya salut dengan terobosan di desa ini. Juga salut pada pemilik idenya. Saya dibawa keliling “desa” itu. Sampai jam 15.30. Itulah saatnya acara senam dansa dimulai.
Di desa cokelat itu. Rombongan senam kami dari Surabaya pun sudah berjajar rapi. Hampir 100 orang. Tinggal menunggu saya.