Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'

Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri

Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'
Roisyah (berdiri), salah satu pengasuh di Wisma Tuna Ganda (WTG) Palsigunung, Cimanggis, Jakarta Timur, bersama Markus Manulang yang menjadi salah satu penghuni panti asuhan tersebut. Foto: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

Umur sengaja dibatasi kurang dari 10 tahun agar lebih memudahkan dalam pembinaan sehingga anak asuh bisa dilatih meski hanya untuk mengurus diri sendiri. Misalnya, agar bisa mandi dan buang air sendiri.

"Ada yang sudah bisa membantu kami mengepel lantai, tetapi sebagian besar memang harus dibantu," lanjut perempuan asal Tegal, Jawa Tengah itu.

Latar belakang anak asuh di WTG pun beragam. Ada yang dititipkan pihak keluarga, ada pula yang diambil dari panti asuhan lainnya.

"Ada yang ditemukan di tong sampah, ada yang ditinggal begitu saja," kata Suciati sembari menyebut nama salah satu anak asuh WTG.

"Ada yang orang tuanya awalnya cuma titip, tetapi setelah itu tak bisa dihubungi lagi," tuturnya.

Namun, ada pula orang tua yang masih peduli dengan anaknya yang menjadi penghuni WTG. Adalah Ita Pujiastuti, anak dari pasangan tunanetra yang terpaksa dititipkan ke panti itu karena menderita kerusakan otak akibat jatuh hingga menderita spastic paralysis.

"Kedua orang tuanya tunanetra, masih sering menengok ke sini," kata Arina, salah satu pengasuh di WTG yang saat ditemui tengah mendampingi Ita.

Mayoritas anak asuh di WTG bisa dibilang orang-orang yang kelahirannya 'tak diinginkan'. Menurut Suciati, hampir sebagian besar cacat yang diderita penghuni WTG disebabkan gagal digugurkan saat masih dalam kandungan.

Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat, apalagi lebih dari satu jenis cacat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News