Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'
Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri
"Gagal saat mau diaborsi, ketika sudah dilahirkan pun masih disia-siakan," ucap Suciati.
Tentunya tak semua penyebab cacat itu karena upaya aborsi yang gagal. Ada pula akibat perkawinan sedarah (incest).
"Ada juga yang lahirnya normal, lantas jatuh hingga akhirnya lumpuh dan mengalami kerusakan otak," tutur Suciati.
Yang pasti, menjadi pengasuh di WTG membutuhkan kesabaran ekstra dan semangat mengabdi luar biasa untuk kemanusiaan.
Para pengasuh tidak hanya bertugas menyuapi atau membantu anak-anak asuh mengenakan baju, tetapi hingga memandikan dan menceboki mereka.
"Yang enggak kuat masuk di sini untuk bekerja pasti mental. Ini bukan duit, tetapi soal kemanusiaan," lanjut Suciati yang memilih meninggalkan statusnya sebagai CPNS di Depnaker pada 1981 demi bergabung di Wisma Tuna Ganda.
Menurutnya, semangat untuk memuliakan manusia yang secara fisik kurang beruntung membuat para pengasuh tetap bertahan. Sebab, uang bulanan yang dikantongi pengasuh tak lebih dari Rp 400 ribu, bahkan ada yang gajinya hanya Rp 300 ribu.
"Istilahnya bukan gaji, tetapi uang honor yang diterima dari pihak yayasan, bukan dari panti ini," tutur Suciati.
Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat, apalagi lebih dari satu jenis cacat.
- Mensos Gus Ipul Ajak Para Stakeholder Revitalisasi Panti Asuhan
- Polri Berikan Penanganan Khusus Kepada Korban Pelecehan di Tangerang
- HUT ke-16, Mandiri Inhealth Wujudkan Kepedulian Kesehatan kepada Panti Asuhan di 16 Kota
- Anak Asuh jadi Korban Pedofilia, Dean Desvi Polisikan Pimpinan Panti Asuhan
- Modus Oknum Pimpinan Panti Asuhan di Tangerang saat Cabuli Anak Asuh Dean Desvi
- Prof Yulius Pimpin Aksi MA Peduli di Panti Asuhan Bayi Sehat