Wisma Tuna Ganda, Tempat Memuliakan 'Orang-Orang Tak Diinginkan'
Tak Berhitung soal Gaji, Layani Penyandang Cacat Seperti Anak Sendiri
Di luar itu ada natura atau pembayaran bukan dalam bentuk uang. "Kadang beras, kadang gula," lanjut Suciati.
Ada hampir 60 pengasuh di WTG termasuk seorang satpam. Mereka bekerja dengan sistem shift. Sehari dibagi dalam tiga shift.
Saat hari raya Idul Fitri pun para pengasuh tetap harus masuk sesuai jam kerja.
"Di sini yang nonmuslim hanya satu orang. Ada satu tukang masak kami adopsi dari Papua," lanjut Suciati.
Adapun untuk operasional bulanan, WTG butuh sekitar Rp 50 juta. Uang itu untuk membeli bahan makanan, pampers dan obat-obatan.
"Hampir semua yang di sini pakai pampers. Obat-obatannya juga mahal. Misal, obat epilepsi, bukan hanya mahal tetapi juga sangat sulit kami mendapatkannya," keluh Suciati.
Dia dan puluhan pengasuh lainnya merasa bersyukur karena setiap bulan kebutuhan itu tercukupi.
"Ada saja yang tiap hari menyumbang meski hanya Rp 50 ribu, tetapi kami sangat menghargai semangat memuliakan sesama yang secara fisik tidak beruntung," lanjutnya.
Tak seorang pun ingin terlahir dan hidup sebagai penyandang cacat, apalagi lebih dari satu jenis cacat.
- Mensos Gus Ipul Ajak Para Stakeholder Revitalisasi Panti Asuhan
- Polri Berikan Penanganan Khusus Kepada Korban Pelecehan di Tangerang
- HUT ke-16, Mandiri Inhealth Wujudkan Kepedulian Kesehatan kepada Panti Asuhan di 16 Kota
- Anak Asuh jadi Korban Pedofilia, Dean Desvi Polisikan Pimpinan Panti Asuhan
- Modus Oknum Pimpinan Panti Asuhan di Tangerang saat Cabuli Anak Asuh Dean Desvi
- Prof Yulius Pimpin Aksi MA Peduli di Panti Asuhan Bayi Sehat