Yang Menang Mendapat Tepuk Tangan, yang Kalah Bulunya Dicabuti

Yang Menang Mendapat Tepuk Tangan, yang Kalah Bulunya Dicabuti
Tradisi Tabuh Rah di Desa Pakraman Sambirenteng. Foto: Bali Ekspres/JPG

Tak ada yang tahu pasti kapan sebenarnya tradisi mecak-cakan ini mulai digelar. Para tetua di desa setempat hanya tahu bahwa tradisi ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi, ratusan tahun silam. Tradisi mecak-cakan itu memang menjadi tradisi yang paling sakral bagi krama di Desa Pakraman Sambirenteng. Tradisi ini diyakini melindungi krama dari bahaya gerubug dan perselisihan antar warga. Tradisi ini tak pernah absen diselenggarakan setiap tahun.

Dalam sejarahnya, konon tradisi ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Tradisi bermula ketika krama Desa Pakraman Sambirenteng selalu tertimpa gerubug dan perselisihan antar krama, setiap kali tilem kapitu tiba. Para penglingsir di desa kala itu, memohon petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Sesuhunan Betara, apa kiranya penyebab dari gerubug itu. Saat itu para penglingsir mendapat penyampaian harus diselenggarakan upacara bhuta yadnya yang bernama cak-cakan, dengan wujud melakukan adu sata alias sabung ayam.

“Ini adalah penyampaian dari penglingsir kami. Penglingsir kami pun tidak tahu sejak kapan, karena sudah tahu dari generasi ke generasi. Setahu saya dan sepanjang hidup saya disini, belum pernah upacara ini tidak dilaksanakan,” jelas Jro Bendesa Nengah Mas, Kelian Desa Pakraman Sambirenteng, yang ditemui Sabtu (10/1) petang lalu. Tradisi mecak-cakan di Desa Pakraman Sambirenteng memang menjadi ritual sakral dan panjang.

Ritual ini bisa berlangsung selama dua hari berturut-turut. Ritual dimulai dari tabuh rah, memasak, upacara pecaruan di perempatan desa, dan megibung atau makan bersama. Saking panjangnya, masyarakat dibagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan khusus agar upacara bisa berlangsung lancar. Ada yang menjadi juru mempersiapkan banten, juru gambel, juru tari, juru ebat atau tukang masak, hingga juru angkut.

Proses paling panjang dalam ritual ini adalah proses tabuh rah, yang bisa berlangsung selama dua hari. Pada tahun 2016 ini, ritual tabuh rah itu berlangsung hingga 150 seet atau 150 babak. Sebanyak 50 seet di antaranya dilangsungkan Jumat lalu, dan 100 seet sisanya dilangsungkan pada Sabtu.

Untuk tabuh rah, setiap kepala keluarga di desa diwajibkan mengeluarkan seekor ayam aduan. Ayam aduan itu kemudian dibawa ke jaba tengah Pura Sanggah Desa Pakraman Sambirenteng, dan harus melalui proses sabung ayam.

Hanya cundang atau ayam yang kalah saja yang dijadikan sarana upacara dan dijadikan bahan untuk megibung atau makan bersama. Sementara ayam yang menang kembali ke tangan pemiliknya, atau boleh disumbangkan untuk keperluan upacara. Bila tak mengeluarkan ayam aduan, bisa saja kepala keluarga menyumbangkan pengina atau ayam betina kepada juru ebat dengan melapor lebih dulu kepada prajuru desa.

“Boleh menyerahkan ayam pengina, itu disebut nyeratos. Atau menyerahkan uang tunai juga boleh. Istilahnya memirak itu. Semua kepala keluarga wajib. Kalau misalnya keluarga tidak mampu, kami berikan waktu selama sebulan menyelesaikan kewajibannya dalam upacara ini,” kata Jro Bendesa. Ayam cundang, pengina, serta uang tunai yang telah terkumpul, kemudian diserahkan kepada juru ebat. Juru ebat dalam upacara ini memegang peranan sangat penting.

AREAL jaba tengah Pura Sanggah Desa di Desa Pakraman Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali, terlihat ramai. Pagi itu, Sabtu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News