Zaytun Gontor
Oleh: Dahlan Iskan
Syekh Panji Gumilang pun menanamkan tekad: kalau kelak mendirikan pesantren tidak boleh ada kekerasan. Sedikit pun. "Di Al Zaitun damai sekali," katanya.
Masih ada lagi yang dikoreksi dari Gontor. Soal makanan santri. Ia menilai makanan untuk anak tingkat SMP-SMA di sana, kala itu, sangat tidak cukup. "Itu mengakibatkan siswa berbohong," katanya.
Panji sendiri, waktu di sana, menjadi sering berbohong. Selesai salat Isya ia sering minta makanan ke dapur. Untuk dibawa ke asrama. Alasannya: untuk makan sahur. Besoknya akan berpuasa.
Ketika paginya ketahuan ikut sarapan, Panji ditegur: katanya puasa. "Maka saya berbohong lagi. Saya bilang lupa," ujarnya.
Sejak itu tertanam dalam tekadnya: kelak, kalau membuat pesantren, santri harus cukup makan. Untuk bisa memberi cukup makan harus punya sumber makanan sendiri.
Di Al Zaytun, santri mendapat sarapan pagi. Lalu dibekali kue yang cukup. Untuk dibawa ke kelas. Pukul 10.00, saat istirahat, santri makan kue itu: roti.
Siang hari santri mendapat makan siang. Lalu dibekali kue lagi. Dibawa ke kelas. Untuk dimakan saat istirahat sekitar jam 15.00.
Malam hari dapat makan malam yang cukup. Nilai gizinya pun dihitung secara modern. Harus cukup gizi.