Zaytun Gontor

Oleh: Dahlan Iskan

Zaytun Gontor
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Waktu itu orang tua Panji tidak langsung kirim anaknya ke Gontor. "Takut di Gontor tidak diajari membaca Al-Qur'an dan kitab kuning," kata Panji mengutip ayahnya.

Sang ayah adalah kepala desa di Dukun. Kakeknya pun kepala desa di situ. Pun buyutnya. Leluhur Panji pindah ke Dukun dari kampung aslinya di Pamekasan. Kini pun kepala desanya masih keponakannya.

Setelah tamat ibtidaiah, Panji dikirim ke pondok Peterongan, Jombang. Tidak kerasan. Lalu ke pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Tidak kerasan.

Pendaftaran siswa di Gontor sudah tutup. Maka Panji pun dimasukkan ke pondok Maskumambang, Gresik. Tidak kalah besar dari Peterongan. Juga tidak kalah terkenal.

Maskumambang dekat sekali dengan Dukun. Zaman itu keinginan masuk pondok haruslah pondok yang jauh. Kian jauh kian baik.

Setelah hampir setahun di Maskumambang barulah Panji dimasukkan ke Gontor.

Pun ketika tamat dari Gontor, Panji dilarang meneruskan ke IAIN Jakarta. Terlalu jauh. Mahal. Tidak ada keluarga dekat. Dan yang penting: keadaan lagi tidak aman.

Tahun 1966 Jakarta sangat kacau. Tegang. PKI baru saja dibubarkan. Bung Karno harus diturunkan.

KAPAN mimpi membangun pesantren Al Zaytun ini bermula? Sewaktu sekolah di Gontor Ponorogo? Itulah pertanyaan saya kepada Syekh Panji Gumilang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News