Zaytun Gontor

Oleh: Dahlan Iskan

Zaytun Gontor
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Panji nekat ke Jakarta. Pun ketika tidak diberi uang oleh orang tua. Panji tahu cara dapat uang. Ia datang ke jaringan dagang ayahnya di Lamongan. Dagang hasil bumi.

Panji pun pinjam uang ke rekan dagang ayahnya itu. Senilai beras 1,5 kuintal. Ia tahu ayahnya pasti kirim hasil panen ke orang itu. Panji berterus terang: pinjaman itu sebagai siasat agar orang tuanya memberi uang untuk kuliah.

Sejak di Gontor, Panji sudah mendengar: begitu hebat IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. IAIN Ciputat jadi buah bibir melebihi IAIN lainnya.

Boleh dikata cita-cita santri Gontor umumnya ingin melanjutkan kuliah ke sana. Setidaknya ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di UIN Syarif Hidayatullah (sebelumnya IAIN) Ciputat itulah Panji bertemu banyak pemikir Islam. Terus berdiskusi dengan mereka. Ia ikut jadi aktivis. Ia jadi pengurus cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ia ikut mengusung tokoh pembaruan pemikiran Islam Dr Nurcholish Madjid terpilih kembali menjadi ketua umum HMI. Nurcholish, sebagaimana Bung Karno, Gus Dur, Cak Nun, dan pelawak terkenal Srimulat Asmuni, adalah orang Jombang.

Ciputat sangat memengaruhi Panji. "Di Ciputat begitu banyak diskusi. Begitu banyak gagasan. Termasuk bagaimana harus membangun masa depan bangsa dan umat," ujar Syekh Panji di dalam mobil itu.

Maka dari gabungan Gontor dan Ciputat lahirlah ide Al Zaytun. Ditambah dengan perjalanan hidupnya yang lebih 10 tahun di luar negeri.

KAPAN mimpi membangun pesantren Al Zaytun ini bermula? Sewaktu sekolah di Gontor Ponorogo? Itulah pertanyaan saya kepada Syekh Panji Gumilang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News