Zaytun Ibrani
Oleh: Dahlan Iskan
Kami pun tiba di wisma tamu. Ramai. Banyak orang tua mahasiswa bermalam di situ. Besok paginya (Sabtu) ada wisuda sarjana angkatan ketiga.
Penerangan di sekitar wisma ini kurang terang. Saya pun berpikir ke masa-masa tahun 1997 ketika wisma ini dibangun: Indonesia masih kekurangan listrik.
Mungkin saat itu sulit mendapat sambungan daya besar dari PLN. Lalu penerangan yang kurang terang ini dianggap biasa, pun setelah Jawa kelebihan listrik.
Wisma ini seperti hotel bintang tiga. Enam lantai. Lift-nya dua buah. Lobinya besar. Kamar-kamarnya besar. Ranjangnya besar. Kursi-kursinya besar. Berarti wisma ini sudah berumur 25 tahun. Sudah waktunya direnovasi ringan.
Saya membayangkan betapa mewahnya untuk ukuran 25 tahun lalu di pedalaman Indramayu. Jangan-jangan itu gedung ber-lift pertama di kabupaten itu.
Usai menaruh barang di kamar saya turun ke lantai dasar: makan malam. Di sebelah lobi itu ada ruang makan. Ternyata sudah begitu banyak yang siap makan malam. Sekitar 100 orang.
Mereka sudah duduk rapi menghadap meja-meja panjang. Makanannya pun sudah tertata di atas meja. Belum ada yang memulai makan. Mereka menunggu kedatangan Syekh Panji. Dan saya. Dan istri.
Di kursi sebelah saya ada Mayjen Purn Kivlan Zen dan istri. Di kanan istri saya ada rombongan pendeta Kristen dari Jakarta. Di seberang saya ada Robin Simanullang, wartawan senior, anak pendeta, penulis buku tentang Al Zaytun.