Zaytun Sinagog

Oleh: Dahlan Iskan

Zaytun Sinagog
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Panji terlihat tetap semangat berbicara soal toleransi. Sesekali ia tampak bicara sambil berdiri. Ia pakai baju lengan panjang. Berdasi. Sesekali mengutip filsafat Jawa. Lengkap dengan tembangnya. Ia lagukan pula. Merdu. Sesekali pula Syekh Panji mengutip ayat Quran. Atau Taurat.

"Sejak kapan pakai dasi?"

“Sejak sekolah di Gontor, Ponorogo," katanya. Ia terus pakai dasi, sering juga lengkap dengan jas. Sampai tua di Gantar, di Indramayu ini.

"Punya berapa ratus dasi?"

"Tidak saya hitung. Banyak yang pemberian orang," katanya.

Kini di Al Zaytun orang tua santri harus membayar kontan. Ketika jual hasil bumi juga kontan. Itu untuk biaya operasional sehari-hari. Karyawan dan guru jumlahnya ratusan. Mereka tetap harus digaji. Mereka juga harus tetap makan. Tiga kali sehari.

Ruang makannya besar sekali. Lauknya harus menjamin tercukupinya gizi. Ikan, telur, ayam, sayur. Sedang nasinya tidak dibatasi. Boleh mengambil sekenyangnya. Santri tidak boleh lapar sampai harus menipu pengurus madrasah.

Semua lauk, semua nasi, semua sayur, semua buah diproduksi sendiri. Maka Zaytun punya banyak usaha di lahan pertaniannya sendiri.

Dahlan Iskan mampir ke Al Zaytun yang lagi diempas-empas badai medsos. Sepi. Dia ke tempat yang disebut-sebut bunker hingga sinagog, rumah ibadah agama Yahudi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News